Minggu, 11 April 2010

MEMBENAHI PENYAKIT DEMENSIA PADA LANSIA



JAKARTA—bkkbn online : Demensia atau pikun yang sering diderita kebanyakan lansia (lanjut usia) adalah sindrom penurunan kemampuan intelektual progresif. Penurunan ini menyebabkan ‘deteriorasi kognisi dan fungsional’, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.

Gangguan fungsi sosial menyebabkan perubahan perilaku dan psikologi (kejiwaan) penderita demensia. Menurut pakar kejiwaan (psikiater) dr Suryo Dharmono, SpKJ(K), penyebab perubahan perilaku dan psikoloigi ini bersifat multifaktor.

“Yang perlu diwaspadai adalah munculnya sindrom perilaku dan psikologi pada penderita demensia. Nah, sindrom ini ditunjukkan dengan berbagai bentuk perubahan perilaku dan psikologi. Sebanyak 80 persen pasien demensia akan mengalami berbagai problem perilaku dan psikologi sepanjang perjalanan penyakitnya,” ungkap Suryo Dharmono pada acara seminar sehari tentang lanjut usia dalam rangka peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2008 di Jakarta baru-baru ini.

Problem perilaku pada penderita demensia, antara lain berupa perilaku agresif. Pasien menjadi galak, kasar dan kerap menyerang orang lain secara fisik; bingung (pasien suka keluyuran tanpa tujuan, menghilang dari rumah dan kemudian sesat), gelisah (suka mondar-mandir), senang menimbun barang dan sering berteriak-teriak di tengah malam.

Sedangkan problem psikologi yang sering timbul antara lain ‘waham’ (kecemburuan yang tidak masuk akal, kecurigaan yang berlebihan, ketakutan merasa dirinya akan dicelakai), halusinasi (sering halusinasi seperti melihat anak-anak kecil masuk kamarnya atau melihat seseorang duduk di ranjangnya), salah identifikasi (salah mengenali orang atau bahkan tidak mengenali bayangan dirinya di cermin), depresi, cemas dan tidur terganggu.

“Problem perilaku dan psikologi pada penderita demensia sering merupakan masalah utama yang dikeluhkan oleh orang atau keluarga yang merawatnya,” kata spesialis kesehatan jiwa dari Divisi Psikiatri Geriatri Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM) ini.

Problem pun menjadi semakin rumit karena kebanyakan keluarga tidak menghendaki pasien diserahkan ke panti jompo. Mereka cenderung ingin merawat, namun yang sring terjadi adalah orang yang merawat pun acapkali mengalami stres berat menyaksikan perubahan tersebut.

Stres terjadi akibat oleh rumitnya tugas merawat pasien, melelahkan baik secara fisik ataupun mental. Tak hanya itu, anggota keluarga yang menjadi perawat umumnya suami/istri atau anak yang tidak memiliki ketrampilan cukup dalam menghadapi pasien..

“Saya merasa stres berat merawat kakek akibat perubahan kelakuannya yang tidak saya mengerti ini. Ditambah karena saya sendiri mempunyai beban rumah tangga yang harus diurus, saya jadi pusing tujuh keliling merawat kakek,” kata Ny Salamah, ibu beranak dua yang tengah sibuk merawat kakeknya, 75 tahun, lansia penderita demensia. Namun demikian, ia bersikeras tidak mau menyerahkan sang kakek ke panti jompo. Selain tidak memiliki biaya, ia sendiri menganggap mengirim kakeknya ke panti jompo sebagai tindakan yang kurang manusiawi. Wah, berabe.

Tetapi alasan Ny Salamah yang bersikeras merawat sendiri kakeknya yang menderita demensia agaknya bisa dipahami ketika ditemukan hasil survei di Amerika yang digelar oleh Asosiasi Alzheimer. Asosiasi itu memperkirakan 70 persen dari empat juta penderita demensia alzheimer di Amerika menjalani perawatan di rumah. Sebagian besar perawatnya adalah pasangan hidupnya atau anak yang sudah dewasa dan rata-rata berperan ganda sebagai sumber ekonomi keluarga.

Di Jepang, survei Health and Welfare Statistic Association menyatakan, 75 persen dari jumlah pasien demensia dirawat di rumah oleh anggota keluarganya sendiri. “Dari berbagai penelitian ternyata rumah dan keluarga masih menjadi tempat terbaik untuk penatalaksanaan pasien demensia,” ungkap Suryo.

Suryo menjelaskan, yang paling dibutuhkan pasien demensia adalah kasih sayang dan orang yang bisa menerima mereka apa adanya. Kesejahteraan fisik dan mental dari perawat juga sangat mempengaruhi kualitas perawatan pasien demensia.

Beberapa studi mengungkapkan, sikap perawat yang relaks, lembut dan murah senyum mampu meredakan perilaku pasien yang agresif. Pola komunikasi yang berlandaskan pada empati dan kasih sayang juga merupakan cara yang efektif untuk menjalin interaksi kondusif. Sikap relaks, penuh senyum dan lembut adalah bentuk komunikasi nonverbal yang lebih mudah dipahami penderita demensia, katimbang kalimat perintah untuk melakukan atau mengubah perilaku tertentu.

Kegiatan rekreasi bersama keluarga, jalan-jalan ke luar rumah, makan di restoran, oalahraga pagi, ibadah rohani bersama, atu meminta pasien untuk memimpin doa sebelum makan, merupakan cara untuk membuat pasien demensia menjadi tenang.

Dr Suryo menyarankan, jika muncul perilaku aneh, sebaiknya keluarga ngomong saja dengan lingkungan sekeliling, dari pada harus memberi nasihat atau omongan kepada penderita demensia.

Gangguan psikologi pada pasien demensia yang sering dikeluhkan keluarga atau perawatnya seperti depresi, gangguan tidur, waham dan halusinasi dapat diperbaiki dengan pemberian psikofarmaka. Sedangkan untuk gangguan perilaku seperti kebingungan, menjadi agresif, bisa membaik dengan membenahi pola interaksi antara perawat dan pasien.(Edi S Emon).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar